Selasa, 20 Juli 2010

Apalah Arti Sebuah Nama....

Apalah arti sebuah nama?

Sebuah ungkapan dalam cerita populer Romeo dan Juliet, kisah percintaan sepanjang abad buah pena pujangga Inggris William Shakespeare. Mungkin inilah ungkapan paling terkenal yang pernah ada tentang nama.


Tapi, bagi umat Islam, nama begitu menjadi hal yang sangat penting, karena nama adalah sebuah doa. Doa yang abadi sepanjang masa, ketika nama itu masih tersemat seperti misalnya nama untuk anak manusia. Alangkah tidak lucu, jika anak manusia misalnya dinamai dengan nama yang tidak baik. Adapun jika terlanjur dinamai dengan nama yang tidak pantas, disarankan untuk di ganti dengan nama yang lebih baik. Seperti dicontohkan Rasululah SAW. mengganti nama seorang sahabat yang asalnya bernama Hazan yang artinya sedih, menjadi Sahal yang bermakna bahagia.


Konon para tokoh-tokoh daerah ini, katanya, menginginkan nama Kabupaten Ciamis diganti menjadi Galuh, karena tidak mempunyai pijakan historis yang kuat dari sejarah di Tatar Galuh ini.
Lagipula, dahulu kala di daerah ini, pernah berdiri Kerajaan Galuh yang terkenal dengan Ciung Wanaranya. Penggunaan nama Galuh tersebut telah ada sejak berdirinya Kerajaan Galuh tahun 612 Masehi.

Kalau kita runut sejarah ciamis ke belakang Asal-usul Kabupaten Ciamis,
Kabupaten Ciamis bercikal bakal dari Kerajaan Galuh, sebuah kerajaan di Tatar Sunda pada abad ke-7. Kerajaan ini berpusat di daerah Kawali, 21 km ke arah utara dari pusat kota Ciamis. Tahun 1595 Galuh jatuh ke tangan Mataram. Berdasarkan sumber Belanda, wilayah kerajaan taklukan ini dibatasi Sungai Citanduy di sebelah timur, Sumedang di sebelah utara, Gunung Galunggung dan Sukapura di sebelah barat, serta Sungai Cijulang di sebelah selatan. Di bawah kekuasaan Mataram, Kerajaan Galuh diubah statusnya menjadi kabupaten. Berbentuk kabupaten selama sekitar dua abad, pusat pemerintahan Galuh sedikitnya empat kali berpindah akibat gejolak politik. Daerah yang pernah menjadi pusat pemerintahan adalah Cineam, Calingcing, Panyingkiran, dan Imbanagara sebelum akhirnya menetap di Cibatu tahun 1815. Pusat pemerintahan tercatat paling lama berlokasi di Imbanagara. Pada masa ini Galuh mengalami perluasan wilayah hingga berbatasan dengan pantai selatan, Sungai Citanduy, Cijolang, dan Sukapura. Karena itu, peristiwa pemindahan ibu kota ke Imbanagara pada 12 Juni 1642 ditetapkan sebagai hari jadi kabupaten. Meski demikian, Galuh mengalami perkembangan pesat pada masa pemerintahan Bupati RAA Kusumadiningrat ( 1839-1886). Bupati yang juga disebut Kangjeng Prebu ini membangun sejumlah fasilitas pemerintahan di pusat kota, seperti gedung kabupaten, masjid agung, kantor asisten residen, dan tangsi militer selama tahun 1859-1877. Pada masa Bupati RTA Sastrawinata (1914- 1935) nama Galuh diubah menjadi Ciamis. Kabupaten ini memiliki empat distrik, yakni Ciamis, Kawali, Rancah, dan Panjalu. Hingga saat ini nama Ciamis masih terus dipakai. Kabupaten seluas 2.263 km2 ini kini terdiri dari 30 kecamatan. (Kompas)

Menurut sejarawan dari Unpad Bandung, Dr. A. Sobana Hardjasaputra, S.S., M.A., masyarakat Ciamis lebih membanggakan nama Galuh daripada Ciamis, itu dapat dimengerti. "Galuh yang di antaranya berarti permata memiliki sejarah yang jelas serta pernah menorehkan kemasyhuran dan kejayaannya, sedangkan Ciamis tidak," ujarnya. Menurutnya, sikap masyarakat Ciamis seperti tadi menunjukkan bahwa apresiasi mereka pada sejarahnya cukup baik.

Pada acara halalbihalal yang diadakan Wargi Galuh di Bandung awal bulan Januari tahun 2003, A. Sobana mengatakan ihwal Galuh tidak hanya terdapat dalam sejarah, tetapi juga terdapat dalam legenda atau cerita rakyat. "Dalam Wawacan Sajarah Galuh, umpamanya, nama Galuh disebutkan sudah ada semenjak zaman prasejarah, dipakai sebagai nama ratu, yakni Ratu Galuh yang mendirikan kerajaan di Lakbok setelah mengalahkan siluman," katanya.

Dalam sejarah, nama Galuh dipakai dalam kurun waktu yang lama, dari abad ke-7 sampai abad ke-16 Masehi, dari nama kerajaan sampai nama kabupaten. "Kerajaan Galuh muncul pada abad ke-7 Masehi, didirikan oleh Wretikandayun," kata A. Sobarna. Kerajaan Galuh ini terus eksis sampai akhir abad ke-16 dan mencapai puncak kejayaannya pada masa Prabu Niskala Wastu Kancana yang pusat kerajaannya di Kawali.

Meski belum dapat dibuktikan kebenarannya sebagaimana yang dituntut oleh ilmu sejarah, berdasarkan tradisi lisan pengaruh kerajaan Galuh sampai di Jawa Timur. Di Surabaya, tepatnya di Kecamatan Bubutan, terdapat nama Kampung Galuhan. Pada tahun 1970-an, orang-orang tua di sana mengaku mereka merupakan keturunan dari Kerajaan Galuh. Nama Galuhan sendiri tadinya berasal dari kata Hujung Galuh atau Ujung Galuh. Nama ini bisa diartikan batas Kerajaan Galuh.

Sebagai kerajaan yang besar yang wilayah kekuasaannya pernah mencakup beberapa wilayah Jawa bagian tengah, Kerajaan Galuh meninggalkan ajaran atau falsafah yang sekarang disebut falsafah kagaluhan. "Falsafah kagaluhan di antaranya berasal dari prasasti Kawali I di Astana Gede, yakni pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya di buana yang artinya harus membiasakan berbuat kebajikan agar lama jaya di dunia," kata A. Sobana.

Ajaran kagaluhan lainnya diambil dari pandangan atau sikap Prabu Haurkuning mengenai kehidupan. "Prabu Haurkuning antara lain berpendapat bahwa kehidupan harus berlandaskan pada silihasih. Ini juga harus berlandaskan pada budi pekerti yang baik," kata A. Sobana. Manusia harus bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak baik. Prabu Haurkuning juga mengingatkan bahwa yang membuat harum seseorang tiada lain adalah budi yang luhur.

Falsafah kagaluhan juga dapat dilihat dari warna ungu yang dipakai oleh Kerajaan Galuh. "Warna ungu ini melambangkan keagungan atau keluhuran budi," kata Ir. H. Enang Supena, tokoh Ciamis yang bekerja dan menetap di Jakarta. Warna ungu ini hingga sekarang terus dipertahankan oleh Pemerintah Kabupaten Ciamis dan menjadi lambang Kabupaten Ciamis.

Nama besar Galuh, menurut A. Sobarna, tidak lantas menjadi luntur pada waktu kerajaan Galuh -- sejak tahun 1595 -- menjadi daerah patalukan (vassal) Mataram dan wilayahnya hanya sebagai kabupaten. Demikian juga waktu dikuasai VOC dari tahun 1705 sampai akhir abad ke-18. "Saat dipegang oleh Bupati R.A.A. Kusumadiningrat (1839-1886), pamor Kabupaten Galuh sangat tinggi karena menjadi kabupaten yang disegani pada masa itu," kata A. Sobarna.

Namun, nama Galuh tidak bisa terus terpakai. "Sejak dikeluarkan dari Wilayah Keresidenan Cirebon dan dimasukkan ke Keresidenan Priangan tahun 1915, tanpa ada alasan yang jelas nama Kabupaten Galuh berubah jadi Kabupaten Ciamis," ujar A. Sobarna. Sejak itu, nama Galuh perlahan tapi pasti terpupus, terutama di dalam administrasi pemerintahan kolonial Belanda, hingga saat ini. Nama Galuh hanya dipakai pada hal-hal yang berkaitan dengan budaya dan sejarah.

Mengenai nama Ciamis, menurut A. Sobarna, hingga saat ini belum ditemukan asal-usulnya. "Ada yang mengatakan nama Ciamis pertama kali diperkenalkan oleh orang Jawa karena sungai di wilayah Galuh banyak ikannya. Amis dalam bahasa Jawa artinya anyir," ujarnya. Ada pula yang berpendapat nama Ciamis ini muncul karena di Galuh pernah terjadi banjir darah. "Darah juga kan baunya amis, anyir," kata A. Sobarna.

Banjir darah yang dimaksud terjadi pada tahun 1739 di daerah Ciancang sehingga terkenal dengan sebutan tragedi Ciancang atau Bedah Ciancang. Waktu itu, daerah Ciancang diserbu ratusan penjarah yang berasal dari Banyumas, namun pasukan Ciancang yang dibantu oleh pasukan dari Sukapura, Limbangan, Parakan Muncang, dan Sumedang, dapat menumpasnya. Para penjarah banyak yang terbunuh.

Melihat ketidakjelasan dari datangnya nama Ciamis ini, A. Sobarna berpendapat bahwa nama Ciamis tidak memiliki nilai sejarah dan tidak mengandung nilai falsafah. "Tidak seperti Galuh," ujarnya. Oleh karena itu, A. Sobarna menyebutkan digantinya Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis tidak ditemukan dasar filosofinya. "Kalau dikaitkan dengan bau amis ikan atau darah, itu merupakan cemoohan dan pelecehan," katanya lagi. (permanajayawirya)

Pertanyaannya, apakah tepat wacana penggantian nama ini digulirkan? Mungkin kita akan berpikir apalah artinya nama kalau nama itu sama-sama tidak berkonotasi negatif. Bayangkan saja misalnya bila nama ini diganti, berapa ratus juta uang yangg dibuang cuma-cuma untuk ganti papan nama kantor bupati sampai kantor RT, papan nama seluruh sekolah/madrasah dan sebagainya.
Apakah dengan penggantian nama ini masyarakat Ciamis akan terjamin pasti menjadi sejahtera, atau menjadi seperti berlian misalnya (menurut arti nama Galuh)? Alangkah sebuah ironi, di saat banyak masyarakat yang masih perlu bantuan, banyak korban bencana yang belum pulih, tempat-tempat yang belum diperbaiki, wacana penggantian nama ini digulirkan. Mungkin lebih bijak, jika anggaran untuk penggantian nama ini (bila disetujui) dialokasikan untuk kepentingan masyarakat Ciamis yang lebih penting dan mendesak. Daripada membesar-besarkan wacana ini alangkah baiknya kita dahulukan kebutuhan dan kepentingan masyarakat Ciamis.

1 comments:

  1. nama bukan hanya sekedar panggiLan, terLebih penting Lagi adaLah dibaLik sebuah nama ada makna yang daLam. terima kasih atas pencerahan, sangat bermanfaat.
    ijin untuk menjadi foLLower di bLog ini, saLam kenaL.

    BalasHapus